Tampilkan postingan dengan label ibadah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ibadah. Tampilkan semua postingan

Rabu, 17 September 2008

SILATURRAHIM

SILATURRAHIM

Rahim secara bahasa berarti rahmah yaitu lembut dan kasih sayang. Tarahamal qaumu artinya s-ling berkasih sayang.

Imam Al-Azhary berkata yang dimaksud dengan firman Allah:

"Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam". (Al-Anbiya': 107) adalah kasih sayang.

Tarahhama 'alaihi berarti mendoakan seseorang agar mendapatkan rahmat, istarhama berarti memohon-kan rahmat. Rajulun rahumun (orang laki-laki yang penyayang) dan imra'atun rahumun (perempuan yang penyayang). Ar-Rahmah fi bani adam, berarti kelem-butan dan kebaikan hati.

Seseorang dikatakan dekat dengan kerabat apabila dia telah memiliki kasih sayang dan kebaikan sehingga menjadi betapa baik dan sayang. Abu Ishaq berkata: Dikatakan paling dekat rahimnya yaitu orang yang paling dekat kasih sayangnya dan paling dekat hubung-an kerabatnya.

Ar-ruhmu dan ar-ruhumu secara bahasa adalah ka-sihan dan simpati. Allah menyebut hujan dengan nama rahmat. Ibnu Sayyidih berkata bahwa yang dimaksud dengan ar-rahim dan ar-rihimu adalah rumah tempat tumbuhnya anak, dan jamaknya arhaam.

Al-Jauhary berkata ar-rahim berarti kerabat. Imam Ibnu Atsir berkata bahwa dzu rahim adalah orang-orang yang memiliki hubungan kerabat yaitu setiap orang yang memiliki hubungan nasab dengan anda.

Imam Al-Azhary berkata ar-rahim adalah hubung-an dekat antara bapak dan anaknya dengan kasih sayang yang sangat dekat.

Allah Ta'ala berfirman:
"Dan bertakwalah kepada Allah, yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling memin-ta satu sama lain, dan peliharalah hubungan sila-turrahim." (An-Nisa': 1)
Orang Arab mengatakan: " Saya ingatkan engkau dengan takut kepada Allah dan hubungan silatur-rahim".

KATA PENGANTAR

Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menganugerahi umat ini dengan mengutus nabi dari kalangan mereka sendiri dan menurunkan Al-Qur'an dengan bahasa mereka. Allah berfirman:

"Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin". (At-Taubah: 128)

Dan firman Allah:
"Sesungguhnya Kami menurunkan berupa Al-Qur'an dengan berbahasa Arab, agar kamu mema-haminya". (Yusuf: 2)

Kitab suci Al-Qur'an diturunkan bukan hanya sekadar untuk diambil berkahnya dan dibaca, atau hanya menetapkan masalah tauhid dan aqidah saja, atau menetapkan syari'at saja, akan tetapi Al-Qur'an datang juga untuk mendidik umat serta agar membentuk masyarakat dan negara.

Sesungguhnya Islam memiliki manhaj tersendiri yaitu manhaj Robbani dan Islam sangat memperhatikan masalah ikatan keluarga setelah menjadikan ikatan utama yaitu ikatan aqidah sebagai landasan hubungan. Keterikatan dengan keluarga yang saling melindungi termasuk aturan agama Islam serta merupakan fitrah di dalam jiwa kemanusiaan, dan Islam mendorong serta membina kuatnya hubungan kerabat kepada tahapan yang lebih baik. Selagi hubungan keluarga menjadi sarana untuk kepentingan dan kemaslahatan Islam, maka hubungan kerabat tersebut termasuk sebagai usaha untuk membentuk masyarakat Islam.

Dan ciri utama orang mukmin dalam beragama adalah selalu dibuktikan dengan amalan dan perbuatan bukan hanya sekedar ucapan dan pengakuan. Allah Ta'ala berfirman:
"Dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang". (Al-Balad: 17)

Kata al-marhamah lebih dalam dari pada rahmah, yang berarti saling berkasih sayang antara sesama orang-orang yang beriman dan berwasiat agar mereka selalu berkasih sayang antar sesama mukmin dan bahkan wasiat tersebut dijadikan sebagai kewajiban bermasyara-kat serta tolong menolong untuk menegakkan wasiat tersebut di tengah-tengah masyarakat. Dan biasanya lingkungan yang paling tepat dan sangat subur untuk menumbuhkan wasiat tersebut adalah hubungan kerabat sehingga Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjadikan hubungan kerabat sebagai sasaran utama dalam berwasiat untuk saling berkasih sayang.

Menyambung hubungan kerabat adalah wajib dan memutuskannya merupakan dosa besar.
Imam Nawawi rahimahullah berkata: "Barangsiapa yang secara sadar menghalalkan pemutusan hubungan kera-bat tanpa sebab atau ada subhat sedangkan dia tahu bahwa memutuskan hubungan kerabat adalah haram, maka dia kafir, kekal di Neraka dan tidak akan masuk Surga selama-lamanya."

Menyambung silaturrahim mempunyai beberapa tingkatan dan yang paling rendah adalah menyambung kembali hubungan yang telah putus dengan berbicara atau hanya sekedar mengucapkan salam supaya tidak masuk ke dalam pemutusan hubungan kerabat. Jika seseorang menyambung sebagian hubungan kerabat tapi tidak sampai seluruhnya, maka dia tidak bisa dikatakan memutus hubungan kerabat. Tetapi jika kurang dari kewajaran yang semestinya dari silaturrahim, maka belum bisa seseorang disebut menyambung .

Para ulama berbeda pendapat tentang kerabat yang wajib disambung hubungan silaturrahimnya, sebagian mereka berpendapat bahwa setiap orang yang ada hubungan mahram, sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa setiap orang yang ada hubungan kerabat dengan kita baik berupa hubungan mahram atau yang lainnya, seperti anak perempuan paman atau bibi. Sebagaimana hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tentang penduduk Mesir:

"Sesungguhnya bagi mereka ada hak perlindungan dan kekerabatan". (HR. Ath-Thabrani)
Dan juga hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwa beliau bersabda:

"Sesungguhnya kebaikan yang terbaik adalah sese-orang bisa menyambung hubungan kerabat dengan teman bapaknya". (Shahihul Jami', Al-Albani)
Padahal mereka yang disebutkan dalam hadits di atas tidak memiliki hubungan nasab sama sekali. Berarti hadits di atas mempunyai makna yang sangat luas yaitu kewajiban berkasih sayang dan menaruh perhatian kepada sesama umat Islam dan ini sesuai dengan tun-tutan ajaran dan kenyataan.

KITABULLAH DAN SILATURRAHIM

Allah Ta'ala berfirman:
"Dan bertakwalah kepada Allah, yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling memin-ta satu sama lain, dan peliharalah hubungan silaturrahim." (An-Nisa': 1).

Keluarga adalah pondasi utama terbangunnya se-buah lingkungan masyarakat. Dan perekat pertama hubungan antar manusia adalah perekat hubungan yang bernilai rububiyah yang merupakan perekat hubungan yang paling dasar. Allah memuji hubungan manusia karena ikatan kekerabatan. Maka bertakwalah kepada Allah yang kamu saling berjanji dan berikrar dengan keagungan nama-Nya, kamu saling meminta satu sama lain dengan kebesaran nama-Nya dan kamu saling bersumpah satu sama lain dengan nama-Nya. Tumbuh-kanlah nilai takwa di antara kalian agar hubungan kerabat tetap bersambung dan langgeng. Hubungan kerabat adalah hubungan yang sangat penting setelah hubungan rububiyah dan perasaan takut kepada Allah. Kemudian, takut untuk memutuskan silaturrahim, selalu memperhatikan hak-haknya, menjaga kelestarian hu-bungan jangan sampai menghancurkan dan menganiaya kemesraannya, jangan sekali-kali mencoba mengusik dan menyentuh keutuhannya. Berusahalah untuk selalu dekat, cinta, hormat dan memuliakan silaturrahim. Jadikanlah kerinduan dan keteduhan hidup anda di bawah naungan dan kemesraan silaturrahim, Allah berfirman :
"Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan meng-awasi kamu". (An-Nisa': 1)
Dan Allah Ta'ala berfirman:
"Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mereka takut kepada Tuhannya". (Ar-Ra'd: 21)

Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan agar kita menyambung hubungan baik dengan orang faqir, hubungan baik dengan tetangga dan hubungan baik dengan kerabat dan sanak famili. Apabila manusia memutuskan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah untuk dihubungkan, maka ikatan sosial masyarakat akan hancur berantakan, kerusakan menyebar di setiap tempat, kekacauan terjadi di mana-mana dan gejala sifat egoisme dan mau menang sendiri akan timbul dalam kehidupan sosial. Sehingga setiap individu masyarakat menjalani hidup tanpa petun-juk, seorang tetangga tidak tahu hak bertetangga, se-orang faqir merasakan penderitaan dan kelaparan sendirian dan hubungan kerabat berantakan, sehingga kehidupan manusia berubah menjadi kehidupan hewani serba tidak berharga.

Dari Anas bin Malik berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Barangsiapa yang senang diluaskan rizkinya dan ditunda umurnya, maka hendaklah bersilatur-rahim". (Muttafaq 'alaih)/

BERBUAT BAIK KEPADA ORANG TUA
MERUPAKAN SILATURRAHIM YANG PALING UTAMA

Bersilaturrahim dan berbuat baik kepada orang tua merupakan ajaran yang menjadi ketetapan Kitabullah Al-Qur'an dan Al-Hadits. Allah Ta'ala berfirman:
"Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya". (Al-Isra': 23)
Wa Qadha Rabbuka berarti suatu perintah yang lazim tidak bisa ditawar-tawar lagi dan Alla Ta'budu Illa Iyahu berarti perintah ibadah yang bersifat individu.

Allah menghubungkan beribadah kepada-Nya dengan berbuat baik kepada orang tua menunjukkan betapa mulianya kedudukan orang tua dan birrul walidain (berbuat baik kepada orang tua) di sisi Allah.

Secara naluri orang tua dengan suka rela mau mengorbankan segala sesuatu untuk memelihara dan membesarkan anak-anaknya dan anak mendapatkan kenikmatan serta perlindungan sempurna dari kedua orang tuanya.

Seorang anak selalu merepotkan dan menyita perhatian orang tuanya dan tatkala menginjak masa tua mereka pun tetap berbahagia dengan keadaan putra-putrinya, akan tetapi betapa cepat seorang anak melalai-kan semua jasa-jasa orang tuanya, hanya disibukkan dengan isteri dan anak sehingga para bapak tidak perlu lagi menasihati anak-anaknya hanya saja seorang anak harus diingatkan dan digugah perasaannya atas kewajib-an mereka terhadap orang tuanya yang sepanjang umurnya dengan berbagai kesulitan dihabiskan untuk mereka serta mengorbankan segala yang ada demi kesenangan dan kebahagiaan mereka hingga datang masa lelah dan letih.

Maka berbuat baik kepada kedua orang tua menjadi keputusan mutlak dari Allah dan ibadah yang menempati urutan kedua setelah beribadah kepada Allah.
"Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliha-raanmu". (Al-Isra': 23)

Kibar atau kibarul sin artinya berusia lanjut, umur sudah mulai menua, punggung sudah mulai membung-kuk dan kulit sudah mulai keriput. 'Indaka yang berarti pemeliharaan yaitu suatu kalimat yang menggambarkan makna tempat berlindung dan berteduh pada saat masa tua, lemah dan tidak berdaya.

Allah Ta'ala berfirman:
"Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka". (Al-Isra': 23)

Seakan-akan Allah berfirman; Bersopan santunlah kamu kepada orang tua! Dengan demikian ayat tersebut mengajarkan sikap sopan agar seorang anak tidak menunjukkan sikap kasar serta menyakitkan hati atau merendahkan kedua orang tua.

Allah Ta'ala berfirman:
"Dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia".
Ini tingkatan yang lebih tinggi lagi yaitu keharusan bagi anak untuk selalu mengucapkan perkataan yang baik kepada kedua orang tua dan memperlihatkan sikap hormat serta menghargai.

Allah Ta'ala juga berfirman:
"Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang".
Seolah-olah sikap rendah diri memiliki sayap dan sayap tersebut direndahkan sebagai tanda penghormatan dan penyerahan diri dalam arti sikap rendah diri yang selayaknya diperintahkan kepada kedua orang tua, seba-gai pengakuan tulus atas kebaikan dan jasa-jasanya.

Allah Ta'ala berfirman:
"Dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku kasihilah me-reka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil". (Al-Isra': 24)

Penyebutan kondisi masa kecil yang lemah yang membutuhkan perawatan dari kedua orang tua meng-ingatkan kepada kondisi yang sama yang sedang dialami orang tua tatkala menginjak lanjut usia yang selalu membutuhkan kasih sayang dan perawatan semisal. Lalu memohon kepada Allah agar bisa memberi belas-kasih kepada mereka berdua sebagai pengakuan atas kekurangan dalam memberi kasihsayang secara sem-purna dan hanya Allahlah yang bisa memberi kasih-sayang atau perawatan yang sangat sempurna serta hanya Dialah yang mampu membalas semua kebaikan dengan sempurna yang tidak mungkin bagi anak untuk melakukannya.

Bukti kasihsayang Allah banyak sekali yang tampak pada makhluk lain. Suatu contoh cahaya mata-hari yang menyinari alam semesta, udara yang dihirup manusia melalui proses paru-paru, air berfungsi untuk minum, masak dan menyiram tanaman dan kasih sayang ibu terhadap anaknya yang muncul secara fitrah sebagai bukti nyata kasih sayang Allah Rabb semesta alam.

Orang mulia dan baik kepada kedua orang tua akan selalu tahu kedudukan serta kemuliaan orang tua, dia merasakan tatkala mencium tangan ibu atau bapak-nya seolah-olah dia bersujud dengan ruh dan perasaan-nya laksana bersujud kepada Allah, dia mendapatkan jati diri yang sebenarnya sebagai suatu rahasia dalam kehidupan. Semua itu menjadi bukti penghargaan dan penghormatan kepada kedua orang tua.

Allah Ta'la berfirman:
"Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-bapaknya . Dan jika kedua-nya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti ke-duanya". (Al-Ankabut: 8).
Orang tua adalah kerabat terdekat yang mempu-nyai jasa yang tidak terhingga dan kasih sayang yang besar sepanjang masa sehingga tidak aneh bila hak-haknya juga besar.

Seorang anak wajib mencintai, menghormati dan memelihara orang tua walaupun keduanya musyrik atau berlainan agama, keduanya berhak untuk diberi kebaik-an dan pemeliharaan bukan mentaati dan mengikuti kesyrikan atau agamanya.

Allah Ta'ala berfirman:
"Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang ber-tambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun." (Luqman : 14)

Disebutkan berulang-ulang serta banyak sekali wasiat untuk seorang anak agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya di dalam Al-Qur'an dan wasiat Rasul shallallahu 'alaihi wasallam dan tidak disebutkan wasiat orang tua untuk berbuat baik terhadap anaknya kecuali sedikit.

Karena kebaikan dan pengorbanan orang tua beru-pa jiwa, raga dan kekuatan yang tak terhitung tanpa berkeluh kesah dan meminta balasan dari anaknya, secara fitrah(naluri) sudah cukup sebagai pendorong kedua orang tua untuk bersikap demikian tanpa ditekan dengan wasiat. Adapun anak harus selalu diberi wasiat dan diingatkan agar senantiasa ingat akan jasa-jasa orang yang selama ini telah mencurahkan jiwa dan raga serta seluruh hidupnya dalam membesarkan dan mendidiknya. Apalagi seorang ibu selama mengandung mengalami banyak beban berat sebagaimana firman Allah Ta'ala (ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah), ibu lebih banyak menderita dalam membesarkan dan mengasuh anaknya, dan penderitaan di saat hamil tidak ada yang bisa merasakan payahnya kecuali kaum ibu juga.

Al-Bazzar meriwayatkan hadits dari Buraidah dari bapaknya bahwa ada seorang lelaki yang sedang thawaf sambil menggendong ibunya, lalu dia bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam: " Apakah dengan ini saya sudah menunaikan haknya?" Beliau shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "Belum! Walaupun se-cuil".

Dari Al-Miqdam bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

"Sesungguhnya Allah berwasiat agar kalian berbuat baik kepada ibu-ibumu, sesungguhnya Allah berwa-siat agar berbuat baik kepada bapak-bapakmu dan sesungguhnya Allah berwasiat kepada kalian agar berbuat baik kepada sanak kerabatmu". (Dishahih-kan oleh Al-Albani dalam Silsilah Shahihah)

Anak adalah bagian hidup dan belahan hati orang tua, kasih sayangnya mengalir di dalam darah daging keduanya.

Dari 'Aqra' bin Habis sesungguhnya dia melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mencium Hasan, lalu dia berkata: "Sesung-guhnya saya mempunyai sepuluh orang anak dan saya tidak pernah mencium seorangpun di antara mereka. Beliau bersabda:

"Sesungguhnya barangsiapa yang tidak menyayangi maka tidak akan disayang". (Muttafaq 'alaih)

Al-Ahnaf bin Qais rahimahullah ditanya tentang masalah sikapnya terhadap anak, maka beliau menjawab: Anak adalah buah hati, belahan jiwa dan tulang punggung, kita rela terhina bagaikan bumi rela diinjak demi mereka dan bagaikan langit yang siap menaungi hidup mereka dan kita siap menjadi senjata pelindung bagi mereka dalam menghadapi marabahaya. Jika mereka minta sesuatu kabulkanlah dan bila marah cari sesuatu yang menye-nangkan hatinya, maka mereka akan membalas kasih sayangmu dan berterimakasih atas setiap pemberian-mu. Janganlah kalian merasa berat dan terbebani oleh anakmu, sebab mereka akan mengacuhkan hidupmu dan menghendaki kematianmu serta segan mendekati-mu.

Apabila seorang anak di mata orang tua keduduk-annya seperti itu, seharusnya anak menempatkan posisi orang tua tidak kurang dari itu dalam menghormati dan memuliakan orang tua mereka sebagai bukti balas budi dan pengakuan terhadap kebaikan yang telah didapat dari orang tua. Di samping tetap melestarikan kewajiban silaturrahim kepada mereka berdua sesuai ketentuan Kitabullah.

Dari Abu Hurairah sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

"Tiga macam doa yang pasti terkabulkan; doa orang tua untuk anaknya, doa orang musafir dan doa orang yang teraniaya". (Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, Al-Albani).
Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam meminta izin untuk ikut serta berjihad, maka beliau shallallahu 'alaihi wasallam bertanya: "Apakah kedua orang tuamu masih hidup? Dia berkata: "Ya, masih hidup". Beliau bersabda: "Maka berjihadlah dalam (menjaga) keduanya".
Dari Abu Bakrah berkata bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Maukah kalian aku ceritakan tentang dosa yang paling besar?" Kami menjawab: "Ya wahai Rasu-lullah". Beliau bersabda:

"Menyekutukan Allah dan durhaka kepada kedua orang tua." Beliau waktu itu bersandar, maka terus duduk dan bersabda: "Ketahuilah, dan perkataan dusta". (Shahihul Jami')

Dari Abdullah Ibnu Mas'ud berkata: Saya bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam: Apakah amal yang paling dicintai Allah? Beliau menjawab: "Shalat pada waktunya." Saya bertanya: "Lalu apalagi?" Beliau bersabda: "Berbuat baik kepada orang tua". Saya bertanya: "Kemudian apalagi?" Beliau shallallahu 'alaihi wasallam bersab-da: "Jihad di jalan Allah". (Muttafaq 'alaih)
Dari Jabir bin Abdullah sesungguhnya seorang lelaki berkata: Wahai Rasulullah sesungguhnya saya mempunyai harta dan anak, dan bapak saya meng-inginkan hartaku. Maka beliau shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

"Engkau dan hartamu adalah milik bapakmu". (Muttafaq 'alaih).
Dan petunjuk birrul walidain yang terbaik adalah sikap yang telah ditunjukkan oleh para nabi 'alaihimus shalatu wa salam sebagai simbol anutan dan petunjuk bagi setiap manusia.
Nabi Ismail 'alaihi salam berkata dan ucapannya diabadi-kan dalam firman Allah Ta'ala:
"Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang bersabar". (Ash-Shafaat: 102).

Nabi Nuh 'alaihi salam berkata juga dan ucapannya dise-butkan dalam firman Allah Ta'ala:
"Ya Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman". (Nuh: 28)

Nabi Isa 'alaihi salam juga disifati oleh Allah Ta'ala dalam firman-Nya:
"Dan berbakti kepada ibuku". (Maryam: 32)
Nabi Yahya 'alaihi salam juga disifati oleh Allah Ta'ala demikian yang disebutkan dalam firman Allah:
"Dan banyak berbakti kepada kedua orang tuanya, dan bukanlah ia orang yang sombong lagi durhaka". (Maryam: 14)
Betapa indahnya bila seorang muslim bisa mencontoh dan mengikuti jejak para nabi.


WAHAI ANAK-ANAKKU

Wahai anakku siang malam sepanjang umurku, aku korbankan untukmu agar kalian berbahagia, kedua orang tuamu letih dan menderita serta hati gundah bila engkau sedang sakit dan wajahmu pucat. Anakku tercin-ta. Itulah kalimat yang sering diulang-ulang oleh seorang ibu atau bapak. Wahai seorang anak ingatlah jasa kedua orang tuamu yang besar tatkala engkau masih berada dalam kandungan, di saat kau masih bayi dan setelah kau menginjak remaja hingga engkau menjadi orang dewasa. Sekarang tiba saatnya kedua orang tuamu membutuh-kan kasih sayang dan perhatian darimu. Sementara engkau hanya sibuk mengurusi isteri dan anak-anakmu hingga orang tuamu engkau abaikan, padahal orang arab jahiliyah dulu menganggap aib dan harga diri jatuh jika ada seorang anak yang durhaka kepada kedua orang tuanya. Peribahasa-peribahasa Arab menceritakannya, menuduhnya dengan gambaran yang sangat jelek sekali bahkan memberinya julukan dengan julukan-julukan yang sangat keji. Akan tetapi kita membaca banyak cerita di zaman sekarang tentang cerita anak-anak yang durhaka kepada kedua orang tuanya.

Abu Ubaidah At-Taimy dalam kitabnya, Al-'Aqaqah wal Bararah menuturkan beberapa contoh orang-orang yang berbuat baik kepada kedua orang tuanya dan beberapa contoh orang-orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya. Seorang dari bani Qurai' bernama Murrah bin Khattab bin Abdullah bin Hamzah pernah mengejek dan terkadang memukul orang tuanya, se-hingga bapaknya berkata:
Saya besarkan dia tatkala dia masih kecil bagaikan anak burung yang baru lahir yang masih lemah tulang-belulangnya.
Induknya yang menyuapi makan sampai melihat anaknya sudah mulai berkulit sempurna.
Dan contoh lain yang durhaka kepada orang tua-nya adalah putra Umi Tsawab Al-Hazaniyah, dia durhaka kepada ibunya karena isterinya selalu menghalangi untuk berbuat baik kepada ibunya, sehingga ibunya mengungkapkan kepedihan hati dalam sebuah syair:
Saya mengasuhnya di masa kecil tatkala masih seper-ti anak burung, sementara induknya yang menyuapi makanan dan melihat kulitnya yang masih baru tumbuh.

Setelah dewasa dia merobek pakaianku dan me-mukul badanku, apakah setelah masa tuaku aku harus mengajari etika dan adab.
Dan juga Yahya bin Yahya bin Said, suatu ketika dia pernah menyusahkan bapaknya lalu bapaknya meng-hardiknya dengan menulis syair:
Semenjak lahir dan masa bayi yang masih kecil aku mengasuhmu, dan saya selalu berusaha agar engkau menjadi orang tinggi dan berkecukupan.
Di malam hari engkau mengeluh sakit hingga tidak bisa tidur. Keluhan itu membuatku gundah dan ketakutan.
Jiwa selalu gelisah memikirkan keselamatan untuk dirimu, sebab aku tahu setiap jiwa terancam oleh ke-matian.
Contoh-contoh di atas merupakan sebagian dari beberapa kasus anak durhaka kepada kedua orang tua-nya yang terjadi pada masa lampau dan sekarang.
Dan di dalam sebagian lagu-lagu masyarakat jahili-yah dahulu, yang sering para wanita lantunkan adalah: Ya Allah, apa yang harus saya perbuat terhadap anakku yang durhaka, di masa kecil aku dengan susah payah membesarkannya, setelah menikah dengan seorang putri Romawi dia berbuat semena-mena terhadapku. Wanita ini mengadu kepada Allah terhadap sikap anaknya yang telah diasuh dengan susah payah, tetapi setelah menikah dengan wanita nasrani Romawi, dia melupakan ibunya.

Adapun contoh orang-orang yang berbuat baik kepada orang tua antara lain; cerita tiga orang yang terjebak dalam gua, di antara mereka ada yang mengata-kan: "Tidak ada cara yang mampu menyelamatkan kalian kecuali bertawassul dengan amal shalih kalian. Seorang di antara mereka berdo'a: "Ya Allah saya mempunyai dua orang tua yang lanjut usia dan saya sekeluarga tidak makan dan minum di malam hari sebelum mereka berdua, pada suatu saat saya pernah pergi jauh untuk suatu keperluan sehingga saya pulang terlambat dan sesampainya di rumah saya mendapatkan mereka berdua dalam keadaan tidur. Lalu saya memerah susu untuk malam itu, tetapi mereka berdua masih tetap tidur pulas, sementara saya tidak suka jika makan dan minum sebelum mereka. Akhirnya saya menunggu sambil memegang susu hingga mereka berdua ter-bangun, sampai fajar terbit mereka berdua baru bangun lalu meminum susu. Ya Allah jika perbuatan yang telah aku kerjakan tersebut termasuk perbuatan ikhlas karena mencari wajahMu, maka hilangkanlah kesulitan kami dari batu besar ini, lalu batu itu pun bergeser dari mulut gua.

Masih banyak contoh-contoh lain tentang orang-orang yang berbakti kepada orang tua baik di masa lampau maupun sekarang yang tidak mungkin kita ceritakan seluruhnya, kebaikan tersebut mereka per-sembahkan kepada orang tua sebagai balasan atas jasa-jasa, perhatian dan pemeliharaan mereka dan sebagai bukti pengakuan tulus dan akhlak mulia. Ini semua mengharuskan kepada setiap anak untuk mengingat kebaikan yang selalu mengalir tak ada hentinya hingga akhir hayat.

Sebagian orang-orang shalih sebelum berangkat kerja ada yang menyempatkan diri singgah ke rumah orang tuanya sambil mencium tangannya untuk memin-ta restu dan menanyakan keadaan serta kesehatan mereka. Lalu berangkat ke tempat kerja. Sikap mulia dan terpuji ini, sangat baik jika dipraktekkan dalam kehidupan masyarakat.
Imam Muslim meriwayatkan hadits dari Abu Hu-rairah bahwa dia berkata bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

"Celakalah, celakalah". Beliau ditanya: "Siapa wahai Rasulullah? Beliau shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Seseorang yang mendapati orang tuanya, dan salah satu atau keduanya berusia lanjut, kemudian tidak masuk Surga".
Dari Abdullah bin Umar berkata bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

"Tiga orang tidak masuk Surga dan tidak dilihat Allah pada hari Kiamat; Orang yang durhaka kepa-da orang tua, wanita yang menyerupai laki-laki dan dayyuts. (HR. Ahmad)
Durhaka kepada orang tua adalah perbuatan zhalim besar dan sikap tidak tahu diri.
Rasulullah yang mengajari umat manusia etika dan tata krama mengetahui kedudukan dan fungsi seorang ibu dan bapak kemudian memberikan petunjuk kepada setiap orang mukmin agar menjadi umat yang bertang-gung jawab.

Di antara bentuk birrul walidain setelah orang tuanya meninggal adalah dengan menyambung hubung-an kerabat dengan teman dan sahabat orang tuanya.
Dari Abdullah bin Umar berkata sesungguhnya saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

"Sesungguhnya perbuatan yang terbaik adalah me-nyambung hubungan kerabat dengan sahabat orang tuanya". (Shahihul Jami', Al-Albani)
Bukti cinta dan berbakti kepada orang tua adalah menghormati dan menjaga hubungan persahabatan orang tua dengan teman-temannya. Pada saat seseorang mempererat hubungan persahabatan dengan teman bapaknya, merupakan bukti dalam berbakti kepada orang tua dan pertanda hasil baik pendidikan orang tua kepada anak.
Imam Muslim dalam kitab shahihnya menyebutkan tentang bab keutamaan menyambung hubungan persa-habatan dengan teman-teman bapak atau ibu. Karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

"Sesungguhnya perbuatan yang terbaik adalah menyambung hubungan persahabatan dengan saha-bat orang tuanya".
Dan juga hadits tentang Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam meng-hormati teman-teman Khadijah setelah wafatnya.
Para ulama mengatakan bahwa al-birr bermakna menyambung silaturrahim, menyayangi dan berbuat ke-baikan serta menjaga persahabatan. Seluruhnya terma-suk bagian inti kebaikan./

MUTIARA NASIHAT DALAM SILATURRAHIM

Hiasilah wahai manusia hubungan kerabatmu dengan ridha Allah, langkah-langkahmu menuju ke tempat tinggal kerabatmu adalah keberkahan dan derajatmu akan tinggi di sisi Allah bila engkau melangkahkan kaki untuk bersilaturrahim. Malaikat rahmah selalu mengiringimu dan merupakan ibadah kepada Allah pada saat engkau bersilaturrahim serta engkau akan mendapatkan pahala dan pengampunan dari Allah. Tatkala engkau mengunjungi bibimu yang sedang sakit berarti engkau telah menghiburnya dan sebagai tanda keberhasilan dalam mendidikmu.

Saudara laki-laki dan saudara perempuan baik sekandung maupun hanya saudara sebapak atau seibu, atau sepersusuan, semuanya hendaklah saling menya-yangi, menghormati dan menyambung hubungan kera-bat baik pada saat berdekatan atau berjauhan.
Hubungan persaudaraan khususnya antara sauda-ra laki-laki dengan saudara perempuan memiliki sentuhan yang sangat unik yaitu sentuhan batin yang sangat lembut serta kesetiaan yang sangat dalam dan semakin hari semakin bertambah subur walaupun berjauhan jarak tempatnya.

Wahai saudariku sekandung, Allah mewasiatkan kepadaku agar aku selalu menyambung silaturrahim, secara fitrah kita bersaudara dan dengan Kitabullah kita diperintahkan bersilaturrahim serta Allah mengancam dengan siksa dan celaka bagi orang yang memutuskan hubungan kerabat.

Dari Jubair bin Muth'im bahwa Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

"Tidak akan masuk Surga orang yang memutuskan hubungan kerabat". (Muttafaq 'alaih)
Menyambung silaturahim dengan paman dan bibi adalah termasuk bagian dari silaturrahim, berdasarkan hadits dari Abu Hurairah bahwa Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

"Apakah kamu tidak sadar bahwa paman seseorang adalah saudara bapaknya".
Menyambung hubungan kerabat dengan anak pe-rempuan dari saudara perempuan termasuk bersilatur-rahim dengan ibunya dan demikian pula bersilatur-rahim dengan saudara perempuan ibu. Dari Barra' bin Azib bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

"Saudara perempuan ibu (bibi) memiliki keduduk-an seperti ibu". (Muttafaq 'alaih)
Dari Ibnu Mas'ud bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

"Saudara perempuan ibu (bibi) adalah ibu". (HR. Ath-Thabrani)
Wanita adalah makhluk yang lemah dan menjadi kuat karena dengan adanya laki-laki. Pada saat saudara laki-laki berkunjung ke rumah saudara perempuan, maka dia bergembira dan berbahagia dengan kunjungan tersebut. Suami dan keluarganya juga ikut bergembira, dengan rasa bangga saudara perempuan tersebut bercerita kepada penduduk kampungnya bahwa saudara laki-laki tersebut datang berkunjung untuk mengetahui keadaan dan kesehatannya dan mereka itulah yang menjadi penopang hidupnya setelah Allah pada saat-saat susah dan kesulitan.

Betapa lezatnya makanan yang datang dari sauda-ra, bapak atau paman serta betapa berharganya hadiah yang datang dari saudara dan kerabat.
Saudara perempuan tersebut mengungkapkan kegembiraan dengan mengucapkan semoga Allah melu-ruskan niatmu wahai saudaraku, semoga Allah senan-tiasa memberi keselamatan kepada kalian dari setiap musibah, saya sangat berbahagia atas kehadiran kalian dan saya sangat bergembira dan bangga dengan kunjungan kalian di hadapan suami saya dan keluarga-nya. Wahai saudaraku tatkala kalian masuk ke rumahku seakan ruangan rumahku bercahaya dan seluruh rahasiaku ingin aku ungkapkan serta keadaanku ber-ubah semua. Hadiah yang kalian berikan walaupun sederhana akan tetapi sangat berharga bagiku bukan karena mahalnya akan tetapi pemberian itu dari tangan kalian. Saya merasa bangga dan mulia dari seluruh manusia di dunia ini.

Wahai saudaraku, kunjungan kalian mendatangkan suasana baru bagi hidupku dan saya melihat ruangan rumahku seakan semakin cerah setelah kedatangan kalian. Kegembiraan yang tak mungkin dunia memberi-kannya kepadaku dan kebahagiaan seakan aku mampu memeluk bintang gejora. Tidak ada saat yang paling bahagia dalam umurku tatkala kalian memuliakan ru-mahku dengan kunjungan kalian.

Ya Allah saya bersaksi di hadapanMu bahwa sau-dara-saudaraku telah bersilaturrahim, maka sambunglah ya Tuhan Dzat Yang Maha Penyayang.
Wahai saudaraku, kalian hanya sekedar menunai-kan kewajiban dan tugas kemasyarakatan, tetapi saya berbahagia selamanya yang tidak mungkin terhargai oleh apa pun.
Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

"Sesungguhnya Allah Ta'ala menciptakan makhluk sehingga setelah selesai menciptakan mereka, maka rahim berdiri dan berkata: Ini adalah kedudukan yang tepat bagi orang yang berlindung dari memutuskan hubungan silaturrahim, Allah Ta'ala berfirman: "Benar, bukankah engkau senang jika Aku menyambung orang yang menyambung silatur-rahim dan saya memutus orang yang memutuskan silaturrahim. Dia berkata: "Ya, Allah Ta'ala berfirman: "Itulah permohonanmu yang Aku kabul-kan."

Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Bacalah jika kalian mau firman Allah Ta'ala (artinya):
"Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?" (Muham-mad: 22)
Imam Muslim meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu 'anhu bahwa dia berkata bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

"Rahim bergantung di 'Arsy, lalu berkata: "Ba-rangsiapa yang menyambungku, maka Allah akan menyambungnya dan barangsiapa yang memutus-kanku, maka Allah akan memutuskannya".
Sesungguhnya orang-orang yang berakal dan berfikir serta berhati yang jernih akan mampu mencerna makna nasihat kebenaran dan kemudian menjadi peringatan baginya.

Allah Ta'ala berfirman:
"Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Rabbnya dan takut kepada hari hisab yang buruk". (Ar-Ra'd: 21)
Inilah sifat seorang mukmin, setiap apa-apa yang diperintahkan Allah Ta'ala untuk menghubungkan, maka mereka pun menghubungkan. Mentaati secara sempurna dan istiqamah di atas kebenaran dan berjalan di atas manhaj Kitabullah dan sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam akan mampu menyelamatkan kita dari penyelewengan dan kesesatan.
Orang yang terbiasa tidak menjaga janji Allah dan tidak istiqamah di atas jalan lurus sesuai kehendak Allah, maka dia tidak mungkin mampu memegang janji dan ikatan dengan siapa pun.

Harap Cantumkan Dicopy dari :

Website “Yayasan Al-Sofwa”
Jl. Raya Lenteng Agung Barat, No.35 Jagakarsa, Jakarta - Selatan (12610)
Telpon: (021)-788363-27 , Fax:(021)-788363-26
www.alsofwah.or.id ; E-mail: info@alsofwah.or.id
Baca Selanjutnya...

Selasa, 02 September 2008

Hikmah Turunnya al Qur'an Secara Berangsur-angsur

Al-Qur'an tidak diturunkan kepada Rasulullah Shallahu 'Alaihi wa Sallam sekaligus satu kitab. Tetapi secara berangsur-angsur, surat-persurat, ayat-perayat menurut tuntutan peristiwa yang melatarinya. Lantas apa hikmahnya? Hikmah atau tujuannya ialah:

1. Untuk menguatkan hati Nabi Shallahu 'Alaihi wa Sallam. Firman-Nya:

Orang-orang kafir berkata, kenapa Qur'an tidak turun kepadanya sekali turun saja? Begitulah, supaya kami kuatkan hatimu dengannya dan kami membacanya secara tartil (teratur dan benar). (Al-Furqaan:32)

Kata Abu Syamah, ayat itu menerangkan bahwa Allah memang sengaja menurunkan Qur'an secara berangsur-angsur. Tidak sekali turun langsung berbentuk kitab seperti kitab-kitab yang diturunkan kepada rasul sebelumnya, tidak. Lantas apa rahasia dan tujuannya? Tujuannya ialah untuk meneguhkan hati Nabi Shallahu 'Alaihi wa Sallam . Sebab dengan turunnya wahyu secara bertahap menurut peristiwa, kondisi, dan situasi yang mengiringinya, tentu hal itu lebih sangat kuat menancap dan sangat terkesan di hati sang penerima wahyu tersebut, yakni Muhammad. Dengan begitu turunnya melaikat kepada beliau juga lebih intens (sering), yang tentunya akan membawa dampak psikologis kepada beliau; terbaharui semangatnya dalam mengemban risalah dari sisi Allah. Beliau tentunya juga sangat bergembira yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Karena itu saat-saat yang paling baik di bulan Ramadhan, ialah seringnya perjumpaan beliau dengan Jibril.

2. Untuk menantang orang-orang kafir yang mengingkari Qur'an karena menurut mereka aneh

kalau kitab suci diturunkan secara berangsur-angsur. Dengan begitu Allah menantang mereka untuk membuat satu surat saja yang (tak perlu melebihi) sebanding dengannya. Dan ternyata mereka tidak sanggup membuat satu surat saja yang seperti Qur'an, apalagi membuat langsung satu kitab.

3. Supaya mudah dihapal dan dipahami.

Memang, dengan turunnya Qur'an secara berangsur-angsur, sangatlah mudah bagi manusia untuk menghafal serta memahami maknanya. Lebih-lebih bagi orang-orang yang buta huruf seperti orang-orang arab pada saat itu; Qur'an turun secara berangsur-angsur tentu sangat menolong mereka dalam menghafal serta memahami ayat-ayatnya. Memang, ayat-ayat Qur'an begitu turun oleh para sahabat langsung dihafalkan dengan baik, dipahami maknanya, lantas dipraktekkan langsung dalam kehidupan sehari-hari. Itulah sebabnya Umar bin Khattab pernah berkata:

Pelajarilah Al-Qur'an lima ayat-lima ayat. Karena Jibril biasa turun membawa Qur'an kepada Nabi Shallahu 'Alaihi wa Sallam lima ayat-lima ayat. (HR. Baihaqi)

4. Supaya orang-orang mukmin antusias dalam menerima Qur'an dan giat mengamalkannya.

Dengan begitu kaum muslimin waktu itu memang senantiasa menginginkan serta merindukan turunnya ayat-ayat Qur'an. Apalagi pada saat memerlukannya karena ada peristiwa yang sangat menuntut penyelesaian wahyu; seperti ayat-ayat mengenai kabar bohong yang disebarkan oleh kaum munafik untuk memfitnah bunda Aisyah, dan ayat-ayat tentang li'an.

5. Mengiringi kejadian-kejadian di masyarakat dan bertahap dalam menetapkan suatu hukum.

Al-Qur'an turun secara berangsur-angsur; yakni dimulai dari maslaah-masalah yang sangat penting kemudian menyusul masalah-masalah yang penting. Nah, karena masalah yang sangat pokok dalam Islam adalah masalah Iman, maka pertama kali yang dipriorotaskan oleh Al-Qur'an ialah tentang keimanan kepada Allah, malaikat, iman kepada kitab-kitbnya, para rasulnya, iman kepdaa hari akhir, kebangkitan dari kubur, dan surga neraka. Hal itu didukung dengan dalil-dalil yang rasional yang tujuan untuk mencabut kepercayaan-kepercayaan jahiliyah yang berpuluh-puluh tahun telah menancap di hati orang-orang musyrik untuk ditanami/diganti dengan benih-benih akidah Islamiyah.

Setelah akidah Islamiya itu tumbuh dan mengakar di hati, baru Allah menurunkan ayat-ayat yang memerintah berakhlak yang baik dan mencegah perbuatan keji dan mungkar untuk membasmi kejahatan serta kerusakan sampai ke akarnya. Juga ayat-ayat yang menerangkan halal haram pada makanan, minuman, harta benda, kehormatan, darah/pembunuh dan sebagainya. Begitulah Qur'an diturunkan sesuai dengan kejadian-kejadian yang mengiringi perjalanan jihad panjang kaum muslimin dalam memperjuangkan agama Allah di muka bumi. Dan ayat-ayat itu tak henti-henti memotivasi mereka dalam perjuangan ini. Mari kita simak contoh-contoh di bawah ini:

1) Surat Al An'am adalah surat makiyah karena turun di Mekah. Isinya menjelaskan perkara iman, akidah tauhid, bahaya syirik, dan menerangkan apa yang halal dan haram, firman:

Katakanlah: Marilah saya bacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu menyekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah kepada kedua orang tuamu, dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kami yang akan memberi rizki kamu dan mereka. (Al An'am:152)

Kemudian, ayat-ayat yang menerangkan hukum-hukum secara rinci, baru menyusul turun di Madinah; seperti tentang utang piutang dan pengharaman riba. Juga tentang zina, itu diharamkan di Mekkah, yaitu ayat:

Jangan kau mendekati zina. Karena sesungguhnya zina satu perbuatan keji dan seburuk-buruk jalan. (Al Isra:32)

Tapi, ayat-ayat yang merinci hukuman bagi orang yang melakukan zina turun di Madinah kemudian.

2) Tentang undang-undang pengharaman khamer, yang pertama kali turun ialah ayat:

Dan dari buah kurma serta anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezeki yang baik ... (An-Nahl:67)

Kemudian yang turun berikutnya ialah ayat:

Mereka bertanya kepadamu tentang khamer dan judi. Katakanlah bahwa pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosanya lebih besar dari pada manfaatnya. (Al-Baqarah:219)

Di dalam ayat itu dikatakan bahwa khamer itu mengandung manfaat yang temporal sifatnya, dan bahayanya lebih besar bagi tubuh, bisa merusak akal, pemborosan harta benda, dan bisa menimbulkan berbagai macam masalah kejahatan serta kemaksiatan di masyarakat. Setelah itu turun ayat yang melarang mabuk ketika shalat.

Hai orang-ornag yang beriman, janganlah kalian shalat ketika kalian dalam keadaan mabuk sampai kalian mengerti apa yang kalian ucapkan. (An-Nisaa':43)

Setelah mereka tahu dan menyadari bahwa mabuk saat shalat diharamkan, kemudian turun ayat yang lebih tegas lagi:

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (minum) khamer, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Oleh kraena itu, jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (Al Maidah:90)

Untuk lebih menjelaskan lagi bahwa turunnya Qur'an secara berangsur-angsur, ialah apa yang dikatakan Bunda Aisyah berikut:

Sesungguhnya yang pertama kali turun ialah surat dari surat-surat mufashal yang di dalamnya disebutkan perihal surga dan neraka, sehingga jika manusia telah kembali/masuk Islam, maka turunlah surat yang menyebutkan tentang halal haram. Nah, sekiranya yang mula-mula turun ialah ayat yang berbunyai: janganlah kamu minum khamer, pasti mereka berkata: kami tidak akan meninggalkan kebiasaan minum khamer selama-lamanya. Dan seandainya yang turun itu ayat yang berbunyi: jangan berzina, niscaya mereka menjawab: kami tidak akan meninggalkan kebiasaan berzina selama-lamanya. (HR.Bukhari)

---------------

diketik ulang dari: Pemahaman Al Qur'an, Syaikh Muhammad Ibnu Jamil Zainu. Penerbit: Gema Risalah Press, Bandung; Cet. Pertama: September 1997, hal.47-51

Baca Selanjutnya...

Senin, 01 September 2008

Saudaraku…..Beramal itu Perlu Ilmu.

Muqoddimah

Saudaraku…..Berapa umur kita sekarang? Berapa usia kita ketika mulai terkena beban syariat?. Mungkin sudah belasan tahun bahkan puluhan tahun kita mengenal islam dan melaksanakan ajarannya. Tapi pernahkah kita berpikir, apakah ibadah kita ini sudah benar sesuai dengan contoh nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Apakah cara kita berislam sudah sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya?. Sudahkah kita berislam dengan tata cara dan urutan yang benar?. Apa yang kita tahu tentang Islam?. Terkadang, di antara kaum muslimin, ketika ditanya apa itu Islam mereka kebingungan menjawab. Ya… Islam ya… kayak itu lah. Islam itu agama yang paling benar, agama yang paling diridhai Allah, dibawa oleh Rasulullah Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, dan jawaban-jawaban lainnya. Ada juga yang menyebutkan mengenai rukun Islam ketika ditanya apa itu Islam. Ya, mereka tidak sepenuhnya salah, tapi yang dimaksud si penanya dengan Islam adalah berserah diri kepada Allah dengan tauhid, tunduk kepada-Nya dengan segala ketaatan/kepatuhan, serta melepaskan diri dari segala bentuk syirik dan para pelaku syirik. Ketika diberi tahu mengenai hal ini malah yang ditanya kebingungan, kok dia tidak pernah dengar mengenai hal ini. Ada juga, ketika salah seorang muslim sujud di dalam shalatnya dengan menghamparkan tanggannya ke lantai (tangan sampai siku menempel di lantai), ia ditegur temannya dan memberi tahu bahwa hal itu tidak boleh; dia malah kebingungan. Bahkan tidak percaya, karena selama shalat puluhan tahun baru sekarang ini ada yang menegur dan mangatakan perbuatan itu dilarang. Banyak contoh yang dapat dikemukakan, tapi kita mencukupkan itu saja. Sebagian kaum muslimin di dalam beribadah terkadang tidak membekali dirinya dengan ilmu mengenai ibadah tersebut terlebih dahulu. Selain merasa tidak penting, mereka juga beranggapan bahwa belajar hanya akan membuang waktu dan tenaga. Ngapain belajar segala, kalau mau sholat, lihat saja orang yang sedang sholat, kemudian kita contoh. Beres, selesai, simple kan?. Tidak usah belajar. Makan waktu, tenaga, dan biaya. Hal ini sangat memprihatinkan. Terkadang, kita tahu ilmu tentang sesuatu sampai sedetil-detilnya, tapi untuk permasalahan agama yang hubungannya dengan akhirat kita tidak tahu sama sekali, walaupun hal itu kita lakukan setiap hari!!. Kita ambil contoh, ada seorang bisa mempelajari masalah mesin sampai sedetil-detilnya, tapi dia tidak tahu bagaimana cara wudhu yang benar. Padahal setiap sholat harus berwudhu, lalu bagaimana dengan sholat-nya?

Saudaraku….Ilmu sebelum beramal sangat penting. Kita harus mengilmui apa yang akan kita amalkan. Karena kalau tidak, salah-salah kita akan terjerumus kepada bid’ah (sesuatu yang baru/diada-adakan yang tidak ada tuntunannya dalam agama) ataupun kesyirikan. Bid’ah lebih disenangi syetan ketimbang maksiat, karena orang yang berbuat maksiat merasa dirinya berbuat maksiat dan ada harapan untuk bertobat, sedangkan pelaku bid’ah merasa bahwa dirinya sedang beribadah kepada Allah, jadi harapan untuk bertaubat dari bid’ahnya sangat kecil sebab ia tidak merasa berbuat salah. Adapaun syirik merupakan dosa besar yang paling besar yang pelakunya tidak akan diampuni kalau mati dengan membawa dosa syirik tersebut (pelakunya mati sebelum bertobat). Dan dia akan kekal di dalam neraka. Na’udzubillah.

Saking pentingnya mengenai ilmu ini, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam memerintahkan kepada kita untuk menuntut ilmu sebagaimana sabda beliau :

“Menuntut ilmu adalah wajib atas setiap muslim.” (HR.Bukhari)

Imam Ahmad –rahimahullah- pernah mengungkapkan:

“Manusia amat membutuhkan ilmu daripada kebutuhan mereka kepada makanan dan minuman, karena makanan dan minuman hanya dibutuhkan dalam sehari satu atau dua kali, sedang ilmu dibutuhkan setiap saat.”

Imam Bukhari –rahimahullah- dalam kitab shahihnya menulis : “Bab Ilmu sebelum ucapan dan perbuatan.” Dalilnya adalah firman Allah (yang artinya) :

“Maka ketahuilah bahwa tidak ada Ilah yang berhak disembah kecuali Allah dan mohonlah ampun atas dosamu.” (Muhammad:19)

Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin –rahimahullah- menjelaskan bahwa: “Imam Bukhari berdalil dengan ayat ini untuk menunjukkan wajibnya mempunyai ilmu sebelum ucapan dan perbuatan. Ini dalil yang tepat menunjukkan bahwa manusia hendaknya mengetahui terlebih dahulu, baru kemudian mengamalkannya. Ada juga dalil aqli yang menunjukkan hal serupa, yaitu bahwasanya amal dan ucapan tidak akan benar dan diterima sehingga sesuai dengan syariat. Seseorang tidak akan tahu apakah amalnya sesuai dengan syariat atau tidak kecuali dengan ilmu. Tetapi ada beberapa hal yang manusia bisa mengetahuinya secara fithrah, seperti pengetahuan bahwa Allah adalah satu-satunya sesembahan, sebab yang demikian ini sudah menjadi fithrah manusia, karena itulah tidak perlu bersusah payah untuk mempelajari bahwa Allah itu Esa. Adapun masalah-masalah juz’iyah yang beragam perlu untuk dipelajari dan memerlukan usaha keras.” Secara akal sehat, pernyataan Imam Bukhari tersebut memang benar dan logis. Kita ambil contoh, misalnya dalam ilmu dunia, bagaimana ia dapat menulis kalau belum pernah belajar menulis. Demikian juga untuk permasalahan akhirat, bagaimana mungkin seorang bisa menegakkan sholat dengan benar padahal ia belum pernah belajar bagaimana tata cara sholat yang benar. Bagaimana bisa berwudhu dengan benar sedang dia tidak pernah mau belajar berwudhu yang benar. Bukankah orang yang mau belajar pasti lebih tahu dan lebih benar tata caranya daripada orang yang tidak pernah belajar?

Sekarang Bagaimana dengan Anda? Sudahkah semua amal Anda didasari ilmu? Kalau sudah, itu yang kita harapkan. Kalau belum? Belum terlambat! Saatnya Anda bangun dari tidur yang panjang! Bergegaslah, tuntutlah ilmu! Jangan sia-siakan umur Anda tanpa menuntut ilmu.

Keutamaan Ilmu:

Saudaraku…..Keutamaan menuntut ilmu sangat banyak sekali, Ibnul Qayyim Al-Jauziyah dalam “Buah Ilmu” menyampaikan kepada kita sampai 129 sisi keutamaan ilmu. Tentunya sangat tidak mungkin kalau ditulis semuanya di sini. Di antara keutamaan menuntut ilmu adalah:

¤ “Adakah sama antara orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”. (Az-Zumar:9)

¤ “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (Al-Mujadilah:11)

¤ “Barangsiapa berjalan di satu jalan dalam rangka menuntut ilmu, maka Allah mudahkan jalan menuju jannah. Dan sesungguhnya malaikat meletakkan sayap-sayapnya bagi penunut ilmu tanda ridha dengan yang dia perbuat”. (Dari hadits yang panjang riwayat Muslim)

¤ Barangsiapa keluar dalam rangka thalabul ilmu (mencari ilmu), maka dia berada dalam sabilillah hingga kembali.” (HR. Tirmidzi, hasan)

¤ “Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR.Muslim)

¤ "Barangsiapa yang Allah kehendaki padanya kebaikan maka Allah akan pahamkan dia adalam (masalah) dien (agama).” (HR.Bukhari)

Ilmu yang dipelajari

Saudaraku…..Apakah yang dimaksud dengan ilmu pada hadits-hadits di atas? Apakah seluruh ilmu? Yang dimaksud ilmu di situ adalah ilmu nafi’, yaitu ilmu yang bermanfaat, yang akan mewariskan kebaikan dan barakah kepada penuntutnya baik di dunia ataupun di akhirat. Karenanya ilmu yang patut dituntut dan diusahakan untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat adalah ilmu syar’I yang dengannya amal akan menjadi baik dan benar. Ilmu Syar’I adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala, sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, dan ijma' sahabat.

Apakah kita harus mempelajari semua ilmu yang ada? Tentunya tidak. Semua orang dilahirkan dengan kemudahan yang berbeda-beda. Kalau semuanya akan dituntut, sampai akhir hayatpun tidak semuanya dapat dipelajari,karena ilmu adalah samudera yang maha luas.

Apa yang mesti kita pelajari terlebih dahulu? Tentunya yang kita pelajari terlebih dahulu adalah ilmu-ilmu yang kita wajib ain untuk mengetahuinya, mau tidak mau, suka tidak suka, harus tahu. Di antaranya adalah mengetahui siapa Rabb (Tuhan) kita, Siapa Nabi kita, dan mengetahui agama Islam dengan dalil-dalilnya. Kita harus mengetahui siapa Rabb kita, dimana Allah berada, apa yang diperintahkan kepada kita, apa hak Allah terhadap manusia, apa kewajiban manusia terhadap Allah, mengetahui nama dan sifat-sifat Allah, bagaimana mentauhidkan Allah, dan lain sebagainya. Kita mengetahui siapa Nabi kita, bagaimana nasab beliau? Berapa umur beliau, kapan beliau diutus menjadi nabi, kapan diangkat menjadi rasul, kapan hijrah, beliau diutus untuk apa, apa yang beliau perintahkan, dan lain sebagainya.

Mengetahui agama Islam dengan dalil-dalilnya, yaitu beragama Islam dengan dalil, bukan hanya ikut-ikutan. Yang sangat penting bagi kita, yang mau tidak mau kita harus memahaminya diantaranya adalah mengenai tauhid, syirik, bagaimana kita beribadah, apa syarat dan rukun syahadat, apa konsekuensinya, apa yang dapat membatalkan syahadat kita. Kita harus paham mengenai cara wudhu, sholat, puasa, dan permasalahan-permasalahan dien (agama) yang setiap hari kita melaksanakannya. Kita tidak disyaratkan untuk hapal dalil-dalilnya, namun apabila dapat hapal dalil-dalil dari apa yang kita lakukan maka itu sangat baik sekali. Minimal kita mengetahui secara pasti bahwa ibadah yang kita laksanakan itu ada dalilnya dari syariat Islam. Pelajarilah ilmu-lmu tersebut sesuai dengan kemampuan kita. Prioritaskanlah yang harus diprioritaskan. Dahulukanlah mana yang harus didahulukan. Pelajarilah hal-hal yang merupakan wajib a’in bagi kita.

Metode menuntut ilmu:

Saudaraku…..menuntut ilmu dapat dengan berbagai metode, asal hal tersebut tidak dilarang oleh syariat. Di antara metode yang dapat digunakan adalah :

¤ Hadir dalam majelis-majelis taklim

Tentunya kita harus memperhatikan apa yang dikaji dan siapa pematerinya (yang memberi kajian) karena mungkin yang diajarkannya hal yang tidak berguna bagi kita, bahkan dapat merusak diri dan dien (agama) kita. Apakah yang diajarkannya memang diperlukan oleh kita dan bersumber dari al-Qur’an dan hadits yang shahih. Siapa pengajarnya? Apakah orang tersebut sudah terkenal konsisten dengan agama yang benar bersumber dari Al-Qur’an dan sunah yang shahih berdasar pemahaman salafush shalih. Jangan sampai kita belajar kepada ahli bid’ah. Karena bukan ilmu yang akan kita dapat, namun kebinasaan yang akan kita peroleh.

¤ Membaca kitab-kitab/buku yang bermanfaat

Apabila kita bisa berbahasa arab, maka kita baca kitab-kitab para ulama. Namun apabila tidak, kita dapat membaca buku terjemahan yang bagus. Namun jangan semua buku dibaca, kita juga harus selektif. Siapa penulisnya dan bagaimana keadaan penerjemahnya, apakah ia amanah dalam menerjemahkan atau tidak. Jangan semua buku kita baca, hanya buku yang shahih saja yang kita konsumsi.

¤ Mendengarkan kaset-kaset ceramah

Alhamdulillah, telah beredar di kalangan kita kaset-kaset yang berisi pelajaran-pelajaran yang bermanfaat. Kita dapat mengambil ilmu dengan mendengarkan kaset kaset tersebut. Tentu saja kita harus selektif juga dalam memilih kaset yang akan kita dengarkan.

¤ Meminta fatwa

Kita dapat meminta fatwa kepada ulama atau ustadz yang terpercaya mengenai permasalahan yang kita hadapi. Bisa lewat surat, telpon, e-mail, atau datang langsung.

¤ Dan metode-metode lain yang tidak bertentangan dengan syariat.

Prinsip-prinsip dalam pengambilan ilmu:

Saudaraku…..Di dalam mengambil ilmu kita perlu memperhatikan kaidah-kaidah pengambilan ilmu, agar jangan sampai kita salah dalam mengambil ilmu yang akhirnya membawa kita kepada penyelewengan terhadap syariat ini. Syaikh Nashr Abdul Karim Al-‘Aql di dalam buku : “Mujmal Ushul” telah memberikan penjelasan kepada kita mengenai prinsip-prinsip ini; yaitu :

1. Sumber ilmu adalah kitab Allah (Al Qur’an), sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang shahih dan ijma’ para salaf yang shaleh.

2. Setiap sunnah shahih yang berasal dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam wajib diterima, sekalipun tidak mutawatir atau ahad (hadits yang diriwayatkan oleh seorang periwayat atau lebih, tetapi periwayatannya bukan dalam jumlah yang terhitung).

3. Yang menjadi rujukan dalam memahami Kitab dan Sunnah adalah nash-nash (teks Al Qur’an atau hadits) yang menjelaskannya, pemahaman para salaf yang shaleh dan para imam yang mengikuti jejak mereka serta dilihat arti yang benar dari bahasa Arab. Namun jika hal tersebut sudah benar maka tidak dipertentangkan lagi dengan hal-hal yang hanya berupa kemungkinan sifatnya menurut bahasa.

4. Prinsip-prinsip utama dalam agama (ushuluddin) semua telah dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Siapapun tidak berhak mengadakan hal yang baru, yang tidak ada contoh sebelumnya, apalagi sampai mengatakan hal tersebut termasuk bagian dari agama.

5. Berserah diri dan patuh hanya kepada Allah dan Rasul-Nya lahir dan batin. Tidak menolak sesuatu dari Kitab atau Sunnah yang shahih, baik dengan analogi, perasaan, kasyf (illuminasi, atau penyingkapan tabir rahasia sesuatu yang ghaib), ucapan seorang syeikh ataupun imam-imam, dan lain-lainnya.

6. Dalil akli yang benar akan sesuai dengan dalil nakli (nash) yang shahih. Sesuatu yang qath’i (pasti) dari kedua dalil itu tidak akan bertentangan. Apabila sepertinya ada pertentangan di antara kedua dalil itu, maka dalil nakli harus didahulukan.

7. Wajib untuk senantiasa menggunakan bahasa agama dalam aqidah dan menjauhi bahasa bid’ah (yang bertentangan dengan sunnah). Bahasa umum yang mengandung pengertian yang salah dan yang benar perlu dipertanyakan lebih lanjut mengenai pengertian yang dimaksud. Apabila yang dimaksud adalah pengertian yang benar maka perlu disebutkan dengan menggunakan bahasa agama (syar’i). Tetapi bila yang dimaksud adalah pengertian yang salah maka harus ditolak.

8. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam adalah ma’shum (dipelihara Allah dari kesalahan), dan umat Islam secara keseluruhan dijauhkan Allah dari kesepakatan atas kesesatan. Namun secara individu, tidak ada seorangpun dari kita yang ma’shum. Jika ada perbedaan pendapat diantara para imam atau yang selain mereka maka perkara tersebut dikembalikan kepada Kitab dan Sunnah, dengan memaafkan orang yang keliru dan berprasangka baik bahwa dia adalah orang yang berijtihad.

9. Ada di antara umat kita yang memperoleh bisikan dan ilham dari Allah, ru’ya (mimpi) yang baik. Ini benar dan termasuk salah satu bagian dari kenabian. Firasat yang baik adalah benar, dan itu semua adalah karamah (suatu kelebihan dan keluarbiasaan yang dikaruniakan Allah kepada seorang wali) serta tanda baik dari Allah, asal dengan syarat tidak bertentangan dengan syariat dan tidak menjadi sumber aqidah maupun hukum. Ciri karamah adalah orang yang mendapatkannya senantiasa istiqomah, berjalan di atas tuntunan Al Quran dan Sunnah.

10. Berdebat untuk menimbulkan keraguan dalam agama adalah perbuatan tercela. Tetapi berdebat dengan cara yang baik untuk mencari kebenaran disyariatkan. Perkara yang dilarang oleh nash untuk mendalaminya wajib diterima dan wajib menahan diri untuk mendalami sesuatu yang tidak dapat diketahui oleh seorang muslim. Seorang muslim harus menyerahkan pengetahuan tersebut kepada Yang Maha Mengetahui, yakni Allah Subhanahu Wata’ala.

11. Kaum muslimin wajib senantiasa mengikuti manhaj (metode) Al-Qur’an dan Sunnah dalam menyampaikan sanggahan, dalam aqidah dan dalam menjelaskan suatu masalah. Karena itu bid’ah tidak boleh dibalas dengan bid’ah lagi, kekurangan dilawan dengan berlebih-lebihan, atau sebaliknya.

12. Setiap perkara baru yang tidak ada sebelumnya dalam agama adalah bid’ah. Setiap bid’ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan dalam neraka.

Penutup

Saudaraku…..Marilah mulai sekarang kita bersama-sama memperbaharui cara kita beragama, memperbaharui amalan-amalan kita dengan mengilmui dahulu baru kemudian mengamalkan. Tidak asal dalam beribadah, karena nantinya hanya capek dan lelah yang akan kita dapatkan. Beribadah ada caranya, ada tuntunannya, dan itu hanya bisa kita ketahui dengan berilmu terlebih dahulu. Jangan sampai kita terkena hadits (yang artinya): “Barangsiapa yang mangada-adakan perkara baru dalam urusan kami ini, apa yang tidak ada darinya, maka perkara baru itu tertolak (H.R. Bukhori-Muslim).” Dalam riwayat yang lain : “Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada padanya urusan kami, maka amalan itu tertolak (H.R Muslim).” Marilah kita jadikan “ilmu sebelum berucap dan beramal” sebagai slogan kita.

Semoga bermanfaat. Allahu A’lam.

Sumber bacaan dan pengambilan:

1. Buah Ilmu, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Penerjemah : Fadhli Bahri, Lc. Penerbit : Pustaka Azzam, Jakarta.

2. Pesan Untuk Muslimah Bagi Penuntut Ilmu Syar’i, Ummu Hasan. Penerjemah: Razif Abdullah. Penerbit: Pustaka Amanah, Solo.

3. Penjelasan Kitab Tiga Landasan Utama, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin. Penerjemah : Zainal Abidin Syamsuddin, Lc, Ainul Haris Arifin, Lc. Penerbit : Darul Haq, Jakarta

4. Prinsip-Prinsip Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Dr. Nashir ibn ‘Abdul Karim Al ‘Aql, Penerjemah : Muhammad Yusuf Harun MA. Penerbit : Gema Insani Press, Jakarta.

Baca Selanjutnya...

Minggu, 24 Agustus 2008

PACARAN DALAM KACAMATA ISLAM

Cinta memang sebuah anugerah, cinta hadir untuk memaniskan hidup di dunia apalagi rasa cinta kepada lawan jenis, sang pujaan hati atau sang kekekasih hati menjadikan cinta itu begitu terasa manis bahkan kalo orang bilang bila orang sudah cinta, maka empedu pun terasa seperti gula. Begitulah cinta, sungguh hal yang telah banyak menjerumuskan kaum muslimin ke dalam jurang kenistaan manakala tidak berada dalam jalur rel yang benar. Mereka sudah tidak tahu lagi mana cinta yang dibolehkan dan mana yang dilarang.


Kehidupan seorang muslim atau muslimah tanpa pacaran adalah hambar, begitulah kata mereka. Kalau dikatakan nggak usah kamu pacaran maka serentak ia akan mengatakan Lha kalo nggak pacaran, gimana kita bisa ngenal calon pendamping kita? Kalo dikatakan pacaran itu haram akan dikatakan, pacaran yang gimana dulu? Beginilah keadaan kaum muda sekarang, racun syubhat, dan racun membela hawa nafsu sudah menjadi sebuah hakim akan hukum halal-haram, boleh dan tidak. Tragis memang kondisi kita ini, terutama yang muslimah.


Mereka para muslimah kebanyakan berlomba-lomba untuk mendapatkan sang pacar atau sang kekasih, apa sebabnya, Aku takut nggak dapat jodoh . Muslimah banyak ketakutannya tentang calon pendamping, karena mereka tahu bahwa perbandingan laki-laki dan perempuan adalah 1 : 5. Tapi apakah jalan pacaran sebagai penyelesaian? Jawabnya Tidak. Bagaimana bisa, kita ikuti selengkapnya pembahasan ini sebagai berikut, (diambil dari buku Pacaran dalam Kacamata Islam karya Abdurrahman al-Mukaffi)


Dikatakan beliau bahwa pacaran dikategorikan sebagai nafsu syahwat yang tidak dirahmati oleh Allah, karena ketiga rukun yang menumbuhkan rasa cinta menyatu di luar perkawinan. Hal ini dilakukan dengan dalih sebagai suatu penjajakan guna mencari partner yang ideal dan serasi bagi masing-masing pihak. Tapi dalam kenyataannya masa penjajakan ini tidak lebih dimanfaatkan sebagai pengumbaran nafsu syahwat semata-mata, bukan bertujuan secepatnya untuk melaksanakan perkawinan.

Hal ini tercermin dari anggapan mereka bahwa merasakan ideal dalam memilih partner jika ada sifat-sifat sebagai berikut :


Mereka merasa beruntung sekali jika selalu dapat berduaan, dan berpisah dalam waktu pendek saja tidak tahan rasanya. Dan keduanya merasa satu sama lain saling memerlukan.

Mereka merasa cocok satu sama lainnya. Karena segala permasalahan yang sedang dihadapi dan dirasakan menjadi masalah yang perlu dicari pemecahannya bersama. Hal ini dimungkinkan karena mereka satu dengan lainnya merasa dapat mencapai saling pengertian dalam seluruh aspek kehidupannya.
Mereka satu sama lain senantiasa berusaha sekuat tenaga untuk menuruti kemauan sang kekasih. Hal ini dimungkinkan karena perasaan cinta yang telah tumbuh secara sempurna dengan pertautan yang kuat.


Tapi tanpa disadari, pacaran itu sendiri telah melambungkan perasaan cinta makin tinggi. Di sisi lain, pacaran menjurus pada hubungan intim yang merusak cinta, melemahkan dan meruntuhkannya. Karena pada hakekatnya hubungan intim dalam pacaran adalah tujuan yang hendak dicapai dalam pacaran. Oleh karena itu orang yang pacaran selalu mendambakan kesyahduan. Dengan tercapainya tujuan tersebut kemungkinan tuntutannya pun mereda dan gejolak cintanya melemah. Hingga kebencian menghantui si bunga yang telah layu, karena si kumbang belang telah menghisap kehormatan secara haram.

Tak ubahnya seperti apa yang dinginkan oleh seorang pemuda untuk memadu cinta dengan dara jelita kembang desanya. Dalam pandangannya sang dara tampak begitu sempurna. Higga kala itu pikiran pun hanyut, malam terkenang, siang terbayang, maka tak enak, tidur pun tak nyenyak, selalu terbayang si dia yang tersayang. Hingga tunas kerinduan menjamur menggapai tangan, menggelitik sambil berbisik. Bisikan nan gemulai, tawa-tawa kecil kian membelai, canda-canda hingga terkulai, karena asyik, cinta pun telah menggulai. Menggulai awan yang mengawang, merobek cinta yang tinggi membintang, hingga luka mengubur cinta.....


Bagaimana pandangan Imam Ibnu Qoyyim rakhimaahullah tentang hal ini? Kata Ibnu Qoyyim, hubungan intim tanpa pernikahan adalah haram dan merusak cinta. Malah, cinta diantara keduanya akan berakhir dengan sikap saling membenci dan bermusuhan. Karena bila keduanya telah merasakan kenikmatan dan cita rasa cinta, tidak boleh tidak akan timbul keinginan lain yang tidak diperoleh sebelumnya.

Bohong! Itulah pandangan mereka guna membela hawa nafsunya yang dimurkai Allah, yakni berpacaran. Karena mereka telah tersosialisasi dengan keadaan seperti ini, seolah-olah mengharuskan adanya pacaran dengan bercintaan secara haram. Bahkan lebih dari itu mereka berani mengikrarkan, bahwa cinta yang dilahirkan bersama dengan sang pacar adalah cinta suci dan bukan cinta birahi. Hal ini didengung-dengungkan, dipublikasikan dalam segala bentuk media, entah cetak maupun elektronika. Entah yang legal maupun ilegal. Padahal yang diistilahkan kesucian dalam Islam adalah bukanlah semata-mata kepemudaan, kegadisan dan selaput dara saja. Lebih dari itu, kesucian mata, telinga, hidung, tangan dan sekujur anggota tubuh, bahkan kesucian hati wajib dijaga. Zinanya mata adalah berpandangan dengan lawan jenis yang bukan muhrimnya, zinanya hati adalah membayangkan dan menghayal, zinanya tangan adalah menyentuh tubuh wanita yang bukan muhrim. Dan pacaran adalah refleksi hubungan intim, dan merupakan ring empuk untuk memberi kesempatan terjadinya segala macam zina ini.


Rasulullah bersabda,

Telah tertulis atas anak adam nasibnya dari hal zina. Akan bertemu dalam hidupnya, tak dapat tidak. Zinanya mata adalah melihat, zina telinga adalah mendengar, zina lidah adalah berkata, zina tangan adalah menyentuh, zina kaki adalah berjalan, zina hati adalah ingin dan berangan-angan. Dibenarkan hal ini oleh kelaminnya atau didustakannya.

Jika kita sejenak mau introspeksi diri dan mengkaji hadist ini dengan kepala dingin maka dapat dipastikan bahwa segala macam bentuk zina terjadi karena motivasi yang tinggi dari rasa tak pernah puas sebagai watak khas makhluk yang bernama manusia. Dan kapan saja, diman saja, perasaan tak pernah puas itu selalu memegang peranan. Seperti halnya dalam berpacaran ini. Pacaran adalah sebuah proses ketidakpuasan yang terus berlanjut untuk sebuah pembuktian cinta. Kita lihat secara umum tahapan dalam pacaran.


Perjumpaan pertama, yaitu perjumpan keduanya yang belum saling kenal. Kemudian berkenalan baik melalui perantara teman atau inisiatif sendiri. hasrat ingin berkenalan ini begitu menggebu karena dirasakan ada sifat-sifat yang menjadi sebab keduanya merasakan getaran yang lain dalam dada. Hubungan pun berlanjut, penilaian terhadap sang kenalan terasa begitu manis, pertama ia nilai dengan daya tarik fisik dan penampilannya, mata sebagai juri. Senyum pun mengiringi, kemudian tertegun akhirnya, akhirnya jantung berdebar, dan hati rindu menggelora. Pertanyaan yang timbul kemudaian adalah kata-kata pujian, kemudian ia tuliskan dalam buku diary, Akankah ia mencintaiku? Bila bertemu ia akan pandang berlama-lama, ia akan puaskan rasa rindu dalam dadanya.

Pengungkapan diri dan pertalian, disinilah tahap ucapan I Love You, Aku mencintaimu. Si Juliet akan sebagai penjual akan menawarkan cintanya dengan rasa malu, dan sang Romeo akan membelinya dengan, I Love You. Jika Juliet diam dengan tersipu dan tertunduk malu, maka sang Romeo pun telah cukup mengerti dengan sikap itu. Kesepakatan pun dibuat, ada ijin sang Romeo untuk datang ke rumah, Apel Mingguan atau Wakuncar. Kapan pun sang Romeo pengin datang maka pintu pun terbuka dan di sinilah mereka akan menumpahkan perasaan masing-masing, persoalanmu menjadi persoalannya, sedihmu menjadi sedihnya, sukamu menjadi riangnya, hatimu menjadi hatinya, bahkan jiwamu menjadi hidupnya. Sepakat pengin terus bersama, berjanji sehidup semati, berjanji sampai rumah tangga. Asyik dan syahdu.


Pembuktian, inilah sebuah pengungkapan diri, rasa cinta yang menggelora pada sang kekasih seakan tak mampu untuk menolak ajakan sang kekasih. Buktikan cintamu sayangku. Hal ini menjadikan perasaan masing-masing saling ketergantungan untuk memenuhi kebutuhan diantara keduanya. Bila sudah seperti ini ajakan ciuman bahkan bersenggama pun sulit untuk ditolak. Na’udzubillah

Begitulah akhirnya mereka berdua telah terjerumus dalam nafsu syahwat, tali-tali iblis telah mengikat. Mereka jadi terbiasa jalan berdua bergandengan tangan, canda gurau dengan cubit sayang, senyum tawa sambil bergelayutan, dan cium sayang melepas abang. Kunjungan kesatu, kedua, ketiga, keseratus, keseribu, dan yang tinggal sekarang adalah suasana usang, bosan, dan menjenuhkan percintaan. Segalanya telah diberikan sang Juliet, Juliet pun menuntut sang Romeo bertanggung jawab? Ternyata sang Romeo pergi tanpa pesan walaupun datang dengan kesan. Sungguh malang nasib Juliet.


Wahai para Muslim/muslimah, sadarlah akan lamunan kalian, bayang-bayang cinta yang suci, bukanlah dengan pacaran, cobalah pikirkan buat kamu muslimah yang masih bergelimang dengan pacaran atau kalian wahai pemuda yang suka gonta-ganti pacar. Cobalah jawab dengan hati jujur pertanyaan-pertanyaan berikut dan renungkan!


Kami tanya :

Apakah kamu dapat berlaku jujur tentang hal adegan yang pernah kamu kamu lakukan waktu pacaran dengan si A,B,C s/d Z kepada calon pasangan yang akan menjadi istri atau suami kamu yang sesungguhnya? Kalau tidak kenapa kamu berani mengatakan, pacaran merupakan suatu bentuk pengenalan kepribadian antara dua insan yang saling jatuh cinta dengan dilandasi sikap saling percaya? Sedangkan kenapa kepada calon pasangan hidup kamu yang sesungguhnya kamu berdusta? Bukankah sikap keterbukaan merupakan salah satu kunci terbinanya keluarga sakinah?

Mengapa kamu pusing tujuh keliling untuk memutuskan seseorang menjadi pendamping hidupmu? Apakah kamu takut mendapat pendamping yang setelah sekian kali pindah tangan? Aku ingin calon pendamping yang baik-baik Kamu katakan seperti ini tapi mengapa kamu begitu gemar pacaran, hingga melahirkan korban baru yang siap pindah tangan dengan kondisi Aku bukan calon pendamping yang baik, bekas dari tanganmu, sungguh bekas tanganmu?

Jika kamu disuruh memilih diantara dua calon pasangan hidup kamu antara yang satu pernah pacaran dan yang satu begitu teguh memegang syariat agama, yang mana yang akan kamu pilih? Tentu yang teguh dalam memegangi agama, ya khan? Tapi kenapa kamu berpacaran dengan yang lain sementara kamu menginginkan pendamping yang bersih?

Bagaimana perasaan kamu jika mengetahui istri/ suami kamu sekarang punya nostalgia berpacaran yang sampai terjadi tidak suci lagi? Tentu kecewa bukan kepalang. Tetapi mengapa sekarang kamu melakukan itu kepada orang yang itu akan menjadi pendamping hidup orang lain?

Kalaupun istri/suami kamu sekarang mau membuka mulut tentang nostalgia berpacaran sebelum menikah dengan kamu. Apakah kamu percaya jika dia bilang kala itu kami berdua hanya bicara biasa-biasa saja dan tidak saling bersentuhan tangan? Kalau tidak kenapa ketika pacaran bersentuhan tangan dan berciuman kamu bilang sebagai bumbu penyedap?

Jika kamu nantinya sudah punya anak apakah rela punya anak yang telah ternoda? Kalau tidak kenapa kamu tega menyeret ortu kamu ke dalam api neraka Allah? Kamu tuntut mereka di hadapan Allah karena tidak melarang kamu berpacaran dan tidak menganjurkan kamu untuk segera menikah.

Karena itu wahai muslimah dan kalian para pemuda kembalilah ke fitrah semula. Fitrah yang telah menjadi sunattullah, tidak satupun yang lari daripadanya melainkan akan binasa dan hancur.

Inti dari pembahasan ini adalah PACARAN ITU HARAM !

Baca Selanjutnya...